Sabtu, 26 Maret 2011

KEPADATAN DAN KESESAKAN LINGKUNGAN

Nama : Kania Indaningrum
NPM : 10508116
Kelas : 3 PA 06
Judul : Kepadatan Dan Kesesakan Lingkungan
Link Blog : http://dukunganmoralanakindigo.blogspot.com/2011/03/kepadatan-dan-kesesakan-lingkungan.html

Isi :

Pembicaraan tentang dampak persoalan lingkungan hidup kini memasuki isu baru. Kalau selama ini banyak dibicarakan tentang persoalan lingkungan hidup berupa pencemaran air, udara, dan darat menimbulkan problem pemanasan global dan ruang hidup kita yang semakin penuh dengan polusi, maka kini orang mencoba melihat persoalan lingkungan hidup dalam kaitannya dengan kehidupan kejiwaan individu atau masyarakatnya.

Dimisalkan dalam diri manusia terdapat aspek internal yang bernama kecemasan (anxiety), maka menguat atau melemahnya kecemasan itu banyak bergantung kepada faktor lingkungan. Dalam lingkungan fisik yang penuh pesona keindahan, kecemasan manusia bisa berkurang. Di tengah lingkungan sosial yang diwarnai persahabatan, keramahtamahan, dan kasih-sayang, kecemasan orang akan melemah dan tumbuhlah perasaan bahagia.

Sebaliknya, di antara lingkungan fisik yang penuh dengan pencemaran (debu, asap dan jelaga), seseorang akan merasa tidak nyaman dan kecemasannya meningkat. Dalam lingkungan sosial yang penuh dengan ancaman pembunuhan, perampokan, peperangan, dan penipuan, orang akan meningkat kecemasannya.

Problem-problem lingkungan yang berkaitan dengan aspek kejiwaan itu banyak terjadi dalam masyarakat kota. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada tiga problem perkotaan berkaitan dengan masalah lingkungan, yaitu masalah kepadatan dan kesesakan, masalah kebisingan dan masalah rumah bertingkat.

Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia pada masa yang akan datang masih menunjukkan trend peningkatan yang drastis. Selain faktor pertumbuhan penduduk alami yang masih relatif tinggi sebagai penyebabnya, juga disebabkan tingkat urbanisasi yang terus meningkat. Seperti yang dinyatakan oleh Firdausy (1984) dengan mengutip pendapat Harmer dkk, bahwa sebelum tahun 1980 pertumbuhan penduduk di perkotaan memang disebabkan oleh kedua faktor tersebut tetapi setelah dekade 80-an, pertumbuhan pendudukan diperkotaan lebih disebabkan faktor urbanisasi. Hal ini mengakibatkan semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota-kota besar di Indonesia terutama di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Semarang.

Kota, memang tidak dapat dipungkiri masih menjadi "pusat pertumbuhan ekonomi”. Hal ini mempunyai implikasi tersedianya sarana dan prasarana yang lebih lengkap dan beragam yang dipersepsikan oleh penduduk desa sebagai faktor daya tarik dari kota. Selain itu, kota mempunyai keanekaragaman pekerjaan yang dipersepsikan penduduk kota lebih memberikan peluang mendapatkan pekerjaan.

Padahal kota apabila dilihat dari luas wilayahnya, sebagai tempat berpijak, tempat berteduh, tempat bekerja, atau tempat untuk melakukan aktivitas lainnya relatif tetap bahkan cenderung berkurang. Berkurang dalam arti, tanah-tanah di pusat kota yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, yang semula digunakan sebagai tempat tinggal mulai digunakan sebagai tempat perkantoran, perdagangan ataupun fasilitas lainnya, seperti tempat parkir kendaraan atau taman kota.

Apabila dilihat dari konsep kepadatan yaitu luas wilayah dibagi dengan orang atau barang, maka kepadatan di kota semakin meningkat atau lebih tinggi dari pada desa; bahkan dapat dikatakan bahwa salah satu ciri kota adalah tingkat kepadatan yang tinggi. Bersamaan dalam situasi tersebut, orang dituntut untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah-masalah, apakah itu masalah yang berhubungan aspek kognitif maupun efektif. Padahal dalam menyelesaikan tugas diperlukan suasana kondusif, oleh karena itu perlu kiranya dicari alternatif strategi adaptasi.


1. PENGERTIAN KEPADATAN


Salah satu ciri kehidupan masyarakat kota adalah kepadatan penduduk. Dalam buku Nuansa Psikologi Pembangunan, Djamaludin Ancok (1995) mengungkapkan bahwa masalah kepadatan menjadi salah satu ciri khas perkotaan. Kelebihan penduduk ini menghadirkan berbagai permasalahan, yaitu masalah kesehatan, masalah perumahan, transportasi, kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan masalah pelayanan sosial.

Kepadatan menyebabkan berkurangnya solidaritas sosial. Hasil-hasil penelitian mengenai perilaku menolong (prosocial behavior) menunjukkan bahwa semakin padat penduduk semakin meningkat rasa tak peduli kepada orang lain. Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan, kehidupan individualistis demikian semakin terasa dari hari ke hari.

Pagar rumah yang makin tinggi menyebabkan hubungan sosial antartetangga menjadi semakin berkurang. Kepedulian terhadap sesama menurun. Seakan-akan seseorang bertemu dengan orang lain bukan karena keinginan membina hubungan yang lebih intens, melainkan karena kebetulan bertemu atau karena terpaksa bertemu.

Memperkaya pernyataan di atas, Lilih Cholidah dkk (1996), dalam Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi Psikologika, mengungkapkan bahwa ada hubungan yang positif antara kepadatan dan kesesakan dengan stres pada remaja Jakarta. Secara khusus, penelitian yang dilakukan di Kelurahan Duri Utara, Kecamatan Tambora, Kodya Jakarta Barat ini mengungkapkan bahwa kepadatan dan kesesakan secara bersama-sama memberikan sumbangan terhadap terjadinya stres pada remaja sebesar 17 persen.

Hasil penelitian Lilih Cholidah dkk searah dengan pandangan Jain (1987) yang mengungkapkan bahwa stres mudah dialami individu yang mengalami keterbatasan ruang dan kesesakan setiap hari. Kepadatan dan kesesakan banyak mengakibatkan stres yang berhubungan dengan respon-respon psikis individu.

Fenomena kepadatan biasanya berkaitan dengan kesesakan. Apabila kepadatan yang dikaitkan dengan kesesakan maka ada dua macam kepadatan yaitu kepadatan spasial dan kepadatan sosial. Jika kesesakan dipelajari melalui berbagai jumlah space yang dibutuhkan sejumlah individu yang tetap disebut dengan kepadatan spasial, sedangkan kesesakan yang dipelajari melalui berbagai jumlah individu dalam space yang tetap disebut dengan kepadatan sosial. (Holaan, 1983 dan Guilford, 1987).


a. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi

Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain.

Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Guilford, 1987).

Akibat secara psikis antara lain :
a. Stres, kepadatan tinggi dapat menimbulkan perasaan negatif, rasa cemas, stres (Jain, 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi dapat menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Guilford, 1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan, 1982; Fisher dkk, 1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empa faktor :
a. Karakteristik seting fisik
b. Karakteristik seting sosial
c. Karakteristik personal
d. Kemampuan beradaptasi


2. PENGERTIAN KESESAKAN

Istilah kesesakan (crowding) merujuk pada pengertian perasaan subjektif individu terhadap keterbatasan ruang yang ada (Holaan, 1982) atau perasaan subjektif karena terlalu banyak orang lain disekelilingnya (Guilford, 1987). Dengan kata lain kesesakan muncul apabila orang berada dalam posisi terkungkung akibat persepsi subjektif keterbatasan ruang. Dikatakan oleh O’sears, dkk (1991), bahwa kesesakan selalu bersifat negative dan menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan dan biasanya terlihat dalam bentuk berbagai keluhan.

Kesesakan timbul dari perkembangan jumlah manusia di dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial dibanyak negara(mis: Indonesia, Cina, India dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun psikologis. Dalam perspektif Psikologis dari kesesakan adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destrukif.

Dalam suasana sesak dan padat, kondisi psikologis negatif mudah timbul sehingga memunculkan stres dan bernagai macam aktivitas sosial negatif( Wrightsman dan Deaux,1981). Bentuk aktivitas tersebut antara lain :
1) munculnya bermacam-macam penyakit fisik dan psikologis, stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis dan gangguan jiwa;
2) munculnya patologi sosial seperti kejahatan dan kenakalan remaja;
3) munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, prososial, dan kecenderungan berprasangka;
4) menurunya prestasi kerja.

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan
1. Faktor Personal
a. Kontrol Pribadi dan Locus Of Control; Selligman, dkk :
Kepadatan meningkat bias menghasilkan kesesakan bila individu sudah tidak punya control terhadap lingkungan sekitarnya. Control pribadi dapat mengurangi kesesakan. Locus Of Control ibternal : Kecendrungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaab yang ada di dalam dirinya lah yang berpengaruh kedalam kehidupannya.

b. Budaya, pengalaman dan proses adaptasi
Menurut Sundstrom : Pengalaman pribadi dalam kondisi padat mempengaruhi tingkat toleransi.
Menurut Yusuf : Kepadatan meningkat menyebabkan timbulnya kreatifitas sebagai intervensi atau upaya menekankan perasaan sesak.

c. Jenis kelamin dan usia
Pria lebih reaktif terhadap kondisi sesak
Perkembangan, gejala reaktif terhadap kesesakan timbul pada individu usia muda.

2. Faktor Sosial
a. Kehadiran dan perilaku orang lain
b. Formasi koalisi
c. Kualitas hubungan
d. Informasi yang tersedia

3. Faktor Fisik
- Goves dan Hughes : Kesesakan didalamnya rumah berhubungan dengan factor-faktor fisik, jenis rumah, urutan lantai, ukuran, suasan sekitar.

- Altman dan Bell, dkk : Suara gaduh,panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, karakteristik setting mempengaruhi kesesakan.


3. Adaptasi
Ketika manusia dihadapakan pada situasi padat yang dapat dipersepsikan sebagai situasi yang mengancam eksistensinya, manusia melakukan adaptasi. Hal ini berarti bahwa ada hubungan interaksionis antara lingkungan dan manusia. Lingkungan dapat mempengaruhi manusia, manusia juga dapat mempengaruhi lingkungan (Holahan, 1982). Oleh karena bersifat saling mempengaruhi maka terdapat proses adaptasi dari individu dalam menanggapi tekanan-tekanan yang berasal dari lingkungan seperti yang dinyatakan Sumarwoto (1991), bahwa individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini mempunyai nilai untuk kelangsungan hidup.

Adaptasi diartikan sebagai kapasitas individu untuk mengatasi lingkungan yang merupakan proses tingkah laku umum yang didasarkan atas faktor-faktor psikologi untuk melakukan antisipasi kemampuan melihat tuntutan di masa yang akan datang (Altman dalam Guliford, 1980). Dengan demikian, adaptasi merupakan tingkah laku yang melibatkan perencanaan agar dapat mengantisipasi suatu peristiwa di masa yang akan datang.

Adaptasi terhadap kepadatan sosial dapat dijelaskan dari pendekatan behavior constraint. Pendekatan ini menyatakan bahwa stimulasi lingkungan yang berlebih dan tidak diinginkan akan mendorong terjadinya arousal atau hambatan pada kapasitas pemrosesan informasi. Istilah constraint berarti adsa sesuatu dalam lingkungan yang membatasi (atau terinterferensi dengan sesuatu), apa yang menjadi harapan (Fisher, Bell, dan Baum, 1984).

Harold Prohansky (dalam Holahan, 1982) mencoba menguraikan pendekatan ini dengan menjelaskan fenomena kesesakan sebagai suatu fenomena psikologis yang mempunyai sifat hubungan yang tidak langsung. Situasi kesesakan merupakan perasaan bahwa kehadiran orang lain menyebabkan frustasi dalam usaha mencapai tujuan. Kesesakan terjadi ketika sejumlah orang dalan suatu setting membatasi kebebasan individu untuk memilih. Oleh karenanya, dalam pendekatan ini, yang paling penting adalah interpretasi kognitif yang mengontrol perilaku terhadap suatu peristiwa kesesakan. Menurut Fisher, Bell dan Baum (1984), ada tiga langkah dasar pendekatan ini dalam menjelaskan fenomena kesesakan yaitu perasaan kehilangan kontrol, psychological reactance, dan learned helplesness. Dalam kondisi kesesakan, yang dialami pertama kali adalah perasaan kehilangan kontrol terhadap lingkungan yang merupakan pengalaman yang tidak mengenakkan. Ketika kebebasan memilih dibatasi oelh kepadatan sosial dan spasial, orang akan mencoba memecahkan masalas situasi tersebut, muncullah langkah kedua yaitu psychological reactance. Dalam hal ini, David Stokols mengaplikasikan teori psychological reactance dari Jack Brehm pada fenomena kesesakan. Psychological reactance merupakan sautu keadaan motivasional dalam membatasi perasaan kehilangan control dan berusaha untuk mendapatkan kembali kebebasan perilaku yang terancam tersebut (Holahan, 1982). Perasaan hilangnya control dapat diatasi apabila dapat melakukan antisipasi faktor-faktor lingkungan yang membatasi kebebasan memilih. Apabila usaha ini gagal maka akan muncul langkah ketiga yaitu learned helplesness atau ketidakberdayaan yang dipelajari (Fisher, Bell, dan Baum, 1984).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adaptasi yang dapat dilakukan dengan berlandaskan pendekatan ini pada dasarnya adalah melakukan upaya untuk dapat mengontrol lingkungan dalam tingkat psychological reactance, yaitu suatu keadaan motivasional dalam mengatasi perasaan kehilangan control dan berusaha untuk mendapatkan kembali kebebasan perilaku yang terhambat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan strategi pendekatan teritorialitas dan meningkatkan keterampilan pemecahan masalah sosial.



Sumber :
Avin. (1994). Buletin Psikologi : Hidup Di Kota Semakin Sulit. http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/hidupdikota_avin.pdf. 19 Maret 2011.

elearning.gunadarma.ac.id/.../bab3_konsep-konsep_fenomena_perilaku_manusia.pdf. Akses tanggal 18 Maret 2011.

elearning.gunadarma.ac.id/.../bab4-kepadatan_dan_kesesakan.pdf. Akses tanggal 18 Maret 2011.

Nashori, Fuad. (1997). Problem Lingkungan Yang Berkaitan Dengan Kejiwaan. www. apakabar@clark.net. 19 Maret 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar