Sabtu, 23 April 2011

PRIVASI, RUANG PERSONAL DAN TERITORIALITAS

Nama : Kania Indaningrum
NPM : 10508116
Kelas : 3 PA 06
Isi :

A. PRIVASI

1. Pengertian Privasi
Teori kendala perilaku banyak dikembangkan oleh Altman. Konsep penting dari Altman (Gifford, 1987) adalah bagaimana seseorang memperoleh kontrol melalui privasi agar kebebasan perilaku dapat diperoleh. Dinamika psikologis dari privasi yang optimal terjadi ketika privasi yang dibutuhkan sama dengan privasi yang dirasakan. Privasi yang terlalu besar menyebabkan orang merasa terasing, sebaliknya terlalu banyak orang lain yang tidak diharapkan, perasaan kesesakan (crowding) akan muncul sehingga orang merasa privasinya terganggu.

Selanjutnya dijelaskan oleh Altman (dalam Gifford, 1987) bahwa privasi pada dasarnya merupakan konsep yang terdiri atas proses 3 dimensi. Pertama, privasi merupakan proses pengontrolan boundary. Artinya, pelangganan terhadap boundary ini merupakn pelangganan terhadap privasi seseorang. Kedua, privasi dilakukan dalam upaya memperoleh optimalisasi. Seseorang menyendiri bukan berarti ia ingin menghindarkan diri dari kehadiran orang lain atau keramaian, tetapi lebih merupakan suatu kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu. Ketiga, privasi merupakan proses multi mekanisme. Artinya, ada bnayak cara yang dilakukan orang untuk memperoleh privasi, baik melalui ruang personal, teritorial, komunikasi verbal, dan komunikasi non verbal.

Beberapa definisi tentang privasi mempunyai kesamaan yang menekankan pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam mengontrol interaksi panca inderanya dengan pihak lain.

Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki oleh seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutpan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar dengan berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain, dengan mendekati atau menjauhinya. Lang (1987) berpendapat bahwa tingkat dari privasi tergantung dari pola-pola perilaku dalam konteks budaya dan dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu.

Rapoport (dalam Soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja.

Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingakt privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin beriteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :
a) Perilaku verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secra verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubingan dengannya. Misalnya “Maaf, saya tidak punya waktu”.

b) Perilaku non verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukkan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tandai senang atau tidak senang. Misalnya seseorang akan menjauh dengan orang lain, membuang muka yang menandakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya dengan mndekati dan menghadap muka, tertawa memberikan indikasi bahwa dirinya siap untuk berkomunikasi dengan orang lain.

c) Mekanisme kultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oelh banyak orang pada buaday tertentu (Altman, 1975; Altman & Chemers dalam Dibyo Hartono, 1986).


2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Privasi


• Faktor Personal

Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditenukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah sesak akan lebih memilih keadaan yang anonim dan reserve saat ia dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sbagian besar waktunya di kota akan lebih memilih keadaan yang anonim dan privacy.

• Faktor Situasional
Penelitian Marshall (dalm Gifford, 1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya privasi di dalam rumah antara lain disebabkan oleh setting rumah. Setting rumah di sini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah. Seseorang yang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain di sekitarnya dari jendela dikatakan memiliki kepuasan akan privasi yang lebih besar.

• Faktor Budaya

Tidak dapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukkan vairasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya. Dalam masayrakat arab, keluarga-keluarga menginginkan tinggal di dalam rumah dengan dinding yang padat dan tinggi mengelilinginya (Gifford, 1987).


3. Pengaruh Privasi Terhadap Perilaku

Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ian akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.

Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan. Menurut Westin (dalam Holahan, 1982) dengan privasi kita juga dapat melakukan evaluasi dri dan membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri. Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks di dalam kelompok sosial; kedua, privasi membantu kita memantapkan perasaan identitas pribadi.


B. RUANG PERSONAL


1. Pengertian Ruang Personal
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz, pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).

Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Altman, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang deangan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak atau daerah di sekita individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.

Ruang personal adalah ruang di sekeliling individu yang selalu dibawa kemana saja orang pergi, dan orang akan merasa tergangu jika ruang tersebut diinterferensi (Gifford, 1987). Artinya, kebutuhan terhadap ruang personal terjadi ketika orang lain hadir. Ketidakhadiran orang lain, kebutuhan tersebut tidak muncul. Ruang personal biasanya berbentuk buble dan bukan semata-mata ruang personal tetapi lebih merupakan ruang interpersonal. Ruang personal ini lebih merupakan proses belajar atau sosialisasi dari orang tua. Seringkali orang tua terutama ibu atau anak diminta memberikan ciuman kepada saudaranya. Anak mempelajari aturan-aturan bagaimana harus mengambil jarak dengan orang yang sedah dikenal dan orang yang belum dikenalnya. Oleh karenanya, pengambilan jarak yang tepat ketika berinteraksi dengan orang lain merupakan suatu cara untuk memenuhi kebutuhan ruang personal diri dan orang lain.

Fungsi ruang personal adalah untuk memndapatkan kenyamanan, melindungi diri, dab merupakan sarana komunikasi. Salah satu penelitian besar mengenai ruang personal dilakukan oleh Edward Hall yang bertu tersebut dikaitkan dengan aktivitas setting tersebut. Jika setting dirancangjuan meneliti ruang personal sebagai cara mengirimkan pesan. Menurut Hall, ada kebutuhan dasar manusia untuk mengelola ruang yang disebut dengan proxemics. Dengan memperhatikan jarak yang digunakan antar orang yang sedang berbicara, pengamat dapat menyimpulkan seberapa jauh kualitas hubungan interpersonal mereka. Jarak 0 – 45 cm dikategorikan sebagai jarak intim. Jarak personal dilakukan dalam jarak 3,5 – 7 meter. Jarak intim dilakukan oleh orang yang memang benar-benar mempunyai kualitas hubungan psikis sangat erat, jarak personal, dilakukan dalam berinteraksi dengan teman atau sahabat, jarak sosial dilakukan individu yang tidak dikenal atau transaksi bisnis, sedangkan jarak publik dilakukan oleh para public figure (Fisher, 1984; Gifford, 1997).

Apalagi teori ruang personal terhadap rancangan lingkungan fisik adalah apakah fungsi utama dari lingkungan fisik tersebut dikaitkan dalam setting tersebut. Jika setting dirancang untuk memfasilitasi hubungan interpersonal maka rancangan model sosiofugal yang diperlukan, seperti ruang keluarga, ruang makan ataupun ruang tamu. Sebaliknya, jika setting dirancang untuk tidak memfasilitasi hubungan interpersonal maka rancangan sosiopetal yang diperlukan seperti ruang baca di perpustakaan dan ruang konsultasi.

Ruang personal adalah ruang di sekitar individu yang tidak mengijinkan individu lain memasukinya (Holahan, 1982). Biasanya, ruang tersebut digambarkan sebagai gelembung yang tidak tampak, menyelimuti seseorang, dan dibawa kemana saja. Sifat lainnya adalah dinamis dan berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Namun demikian, ruang personal dikontrol kuat oleh seseorang. Jika terjadi pelanggaran, dianggap sebagai ancaman. Hal ini disebabkan oleh fungsi ruang personal adalah melindungi harga diri seseorang (Dosey & Meisels dalam Gifford, (1987), sehingga menurut teori beban lingkungan, stimulasi informasi tetap dalam kondisi optimal . Ruang personal bagi Altman (Brigham, 1991) merupakan salah satu upaya meningkatkan privasi. Cara memperoleh ruang personal dengan merancang bangunan fisik yang menghambat interaksi sosial (latar sosiopetal). Latar sosiopetal terlihat pada meja makan yang dikelilingi tempat duduk yang saling menatap, sedangkan latar sosiofugal terlihat pada tempat duduk di ruang tunggu pelabuhan udara (Osmond dalam Gifford, 1987).

Banyak penelitian tentang jarak proksemik yang telah dilakukan, varian yang didapat antara lain jarak intim (0 – 0,45 m), jarak pribadi (0,45 – 1,2 m), jarak sosial (1,2 – 3,6 m), jarak publik (>3,6 m). Jika dibagi menjadi subfase pada masing-masing jaraknya, akan didapat hal sebagai berikut :
• Jarak intim
 Fase dekat (0-15 cm) : perlindungan dan kasih sayang, pandangan tidak tajam, tidak perlu suara
 Fase jauh (15-45 cm) : jarak sentuh, tidak layak di muka umum, pandangan terdistorsi, bau tercium, suara berbisik.

• Jarak pribadi
 Fase dekat (0,45-0,75 m) : mempengaruhi perasaan, pandangan terganggu, fokus lelah, tekstur jelas.
 Fase jauh (0,75-12 m) ; pembiacaraan soal pribadi, pandangan baik, suara jelas atau perlahan.

• Jarak sosial
 Fase jauh (2,1-3,6 m) : melihat diri formalitas.
 Fase dekat (1,2-2,4 m) : dominasi dan kerja sama.

• Jarak publik
 Fase jauh (>7,5 m) : pembicara dengan audiens.
 Fase dekat (3,6-7,5 m) : belum saling kenal.

Studi menunjukkan bahwa perbedaan individu dan situasi selain menentukan jarak personal juga mempengaruhi orientasi tubuh seseorang terhadap orang lain. Salah satunya adalah variabel jenis kelamin, misalnya laki-laki menyukai berhadapan (muka-muka) dengan orang yang disukainya, sementara perempuan lebih suka memilih posisi bersebelahan.

Hal ini dibuktikan oleh penelitian Byne, Baskett, dan Hodges (1971) yang melakukan eksperimen, dimana subjek laki-laki dan perempuan dimasukkan ke dalam ruang yang memiliki posisi duduk bersebelahan dan berhadapan dan terdiri dari dua kelompok orang ; yang disukainya dan yang tidak disukainya. Subjek perempuan memilih duduk bersebelahan dengan kelompok yang disukainya.

2. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam studi lintas budaya yang berkaitan dengan ruang personal, Hall (dalam Altman, 1976) mengamati bahwa norma dan adat istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruangnya, susunan perabot, konfigurasi tempat tinggal dan orientasi yang dijaga oleh individu satu dengan individu lainnya. Contohnya, orang Jerman lebih sensitif terhadap gangguan, memiliki gelembung ruang personal yang lebih besar dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Orang-orang Perancis berinteraksi dengan keterlibatan yang lebih dalam. Kebiasaan mereka berupa rasa estetika terhadap fashion merupakn bagian dari fungsi gaya hidup dan pengalaman.

C. TERITORIALITAS


1. Pengertian Teritorialitas
Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungakapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri kepemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain.

Teritori merupakan suatu pembentukan wilayah geografis untuk mencapai privasi yang optimal. Dalam kaitanya dengan usaha memperoleh privasi adalah menyusun kembali setting fisik atau pindah ke lokasi lain. Penyusunan kembali setting dapat dilakukan dengan pembuatan teritori yang diwujudkan seperti membuat pagar, membuat ‘tanda kepemilikan’ atau marking pada lokasi-lokasi di sungai, pegunungan ataupun di bukit (Helmi, 1994).

Teritorial dipandang Sommers sebagai tempat yang dimiliki atau dikontrol individu atau kelompok (Fisher et al., 1984). Menurut teori beban lingkungan, territorial berfungsi menurunkan jumlah dan kompleksitas stimulasi. Teritorial menurut pandangan ekologis merupakan upaya mempertegas batas-batas kepemilikan sumberdaya, batas antara pemiliki dan bukan pemilik. Teritorial menurut teori kendala perilaku merupakan upaya meningkatkan kontrol personal terhadap lingkungan sehingga privasi yang optimal dapat tercapai. Diperolehnya kontrol personal merupakan dasar pengembangan identitas personal (Edney dalam Holahan, 1982).

Teritorialitas memiliki lima ciri yang menegaskan : 1 ) ber-ruang, 2) dikuasai, dimiliki atau dikendalikan oleh seorang individu atau kelompok, 3) memuaskan beberapa kebutuhan (misalnya status), 4) ditandai baik secara konkrit atau simbolik, 5) dipertahankan atau setidaknya orang merasa tidak senang bila dimasuki atau dilanggar dengan cara apapun oleh orang asing.

Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu :
• Kepemilikan atau hak dari suatu tempat
• Personalisasi atau penandaan daris uatu area tertentu
• Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar, dan
• Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasaan kognittif dan kebutuhan-kebutuhan mereka

Altman membagi teritorialitas berdasarkan derajat privasi, afilasi dan kemungkinan pencapaian menjadi tiga : teritori primer, teritori sekunder dan teritori publik.
• Teritori primer, adalah tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya, hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah mendapatkan izin khusus. Teritori ini dimiliki oleh individu ataupun kelompok orang yang juga mengendalikan penggunaan teritori tersebut secara relatif tetap, berkenaan dengan kehidupan sehari-hari ketika terlibat psikologis di dalamnya cukup tinggi. Misalnya ruang tidur atau ruang kantor. Meskipun ukuran dan jumlah penghuninya tidak sama, kepentingan psikologis dari teritori primer bagi penghuninya selalu tinggi.

• Teritori sekunder, adalah tempat-tempat yang dimiliki bersama oelh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini tidaklah sepenting teritori primer dan kadang berganti pemakai, atau berbagai penggunaan dengan orang asing. Misalnya, ruang kelas, kantin kampus, dan ruang latihan olahraga.

• Teritori publik, adalah temapt-tempat yang terbuka untuk umum. Pada prinsipnya setiap orang diperkenankan untuk berada di tempat tersebut. Misalnya pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, lobby, ruang sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum.



 Hubungan Antara Privasi, Ruang Personal dan Teritorilaltas

Altman (1975) mengajukan suatu model yang menghubungkan privasi, ruang personal dan kesesakan dengan menganggap “sesak sebagai akibat dari kegagalan mencapai tingkat privasi yang diinginka.


Isolasi Sosial
(Privasi yang didapat >
Privasi yang diinginkan)



Privasi Mekanisme kontrol Hasil Optimum
yang diinginkan (Privasi yang (Privasi yang didapat =
(ideal) Interpersonal didapat) Privasi yang diinginkan)
- Personal Space
-Teritorialitas
-Perilaku Verbal
-Perilaku Non Verbal



Kesesakan
(Privasi yang didapat <
Privasi yang diinginkan)


Sumber :
elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf.
elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/...lingkungan/bab6-privasi.pdf

Anonim. (2003). Bab 2 Kajian Pustaka. http://repository.upi.edu/operator/upload/s_e0151_044161_chapter2.pdf. 19 April 2011.

Fadilla Helmi, Avin. (1999). Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf. 19 April 2011.

Sabtu, 26 Maret 2011

KEPADATAN DAN KESESAKAN LINGKUNGAN

Nama : Kania Indaningrum
NPM : 10508116
Kelas : 3 PA 06
Judul : Kepadatan Dan Kesesakan Lingkungan
Link Blog : http://dukunganmoralanakindigo.blogspot.com/2011/03/kepadatan-dan-kesesakan-lingkungan.html

Isi :

Pembicaraan tentang dampak persoalan lingkungan hidup kini memasuki isu baru. Kalau selama ini banyak dibicarakan tentang persoalan lingkungan hidup berupa pencemaran air, udara, dan darat menimbulkan problem pemanasan global dan ruang hidup kita yang semakin penuh dengan polusi, maka kini orang mencoba melihat persoalan lingkungan hidup dalam kaitannya dengan kehidupan kejiwaan individu atau masyarakatnya.

Dimisalkan dalam diri manusia terdapat aspek internal yang bernama kecemasan (anxiety), maka menguat atau melemahnya kecemasan itu banyak bergantung kepada faktor lingkungan. Dalam lingkungan fisik yang penuh pesona keindahan, kecemasan manusia bisa berkurang. Di tengah lingkungan sosial yang diwarnai persahabatan, keramahtamahan, dan kasih-sayang, kecemasan orang akan melemah dan tumbuhlah perasaan bahagia.

Sebaliknya, di antara lingkungan fisik yang penuh dengan pencemaran (debu, asap dan jelaga), seseorang akan merasa tidak nyaman dan kecemasannya meningkat. Dalam lingkungan sosial yang penuh dengan ancaman pembunuhan, perampokan, peperangan, dan penipuan, orang akan meningkat kecemasannya.

Problem-problem lingkungan yang berkaitan dengan aspek kejiwaan itu banyak terjadi dalam masyarakat kota. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada tiga problem perkotaan berkaitan dengan masalah lingkungan, yaitu masalah kepadatan dan kesesakan, masalah kebisingan dan masalah rumah bertingkat.

Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia pada masa yang akan datang masih menunjukkan trend peningkatan yang drastis. Selain faktor pertumbuhan penduduk alami yang masih relatif tinggi sebagai penyebabnya, juga disebabkan tingkat urbanisasi yang terus meningkat. Seperti yang dinyatakan oleh Firdausy (1984) dengan mengutip pendapat Harmer dkk, bahwa sebelum tahun 1980 pertumbuhan penduduk di perkotaan memang disebabkan oleh kedua faktor tersebut tetapi setelah dekade 80-an, pertumbuhan pendudukan diperkotaan lebih disebabkan faktor urbanisasi. Hal ini mengakibatkan semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota-kota besar di Indonesia terutama di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Semarang.

Kota, memang tidak dapat dipungkiri masih menjadi "pusat pertumbuhan ekonomi”. Hal ini mempunyai implikasi tersedianya sarana dan prasarana yang lebih lengkap dan beragam yang dipersepsikan oleh penduduk desa sebagai faktor daya tarik dari kota. Selain itu, kota mempunyai keanekaragaman pekerjaan yang dipersepsikan penduduk kota lebih memberikan peluang mendapatkan pekerjaan.

Padahal kota apabila dilihat dari luas wilayahnya, sebagai tempat berpijak, tempat berteduh, tempat bekerja, atau tempat untuk melakukan aktivitas lainnya relatif tetap bahkan cenderung berkurang. Berkurang dalam arti, tanah-tanah di pusat kota yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, yang semula digunakan sebagai tempat tinggal mulai digunakan sebagai tempat perkantoran, perdagangan ataupun fasilitas lainnya, seperti tempat parkir kendaraan atau taman kota.

Apabila dilihat dari konsep kepadatan yaitu luas wilayah dibagi dengan orang atau barang, maka kepadatan di kota semakin meningkat atau lebih tinggi dari pada desa; bahkan dapat dikatakan bahwa salah satu ciri kota adalah tingkat kepadatan yang tinggi. Bersamaan dalam situasi tersebut, orang dituntut untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah-masalah, apakah itu masalah yang berhubungan aspek kognitif maupun efektif. Padahal dalam menyelesaikan tugas diperlukan suasana kondusif, oleh karena itu perlu kiranya dicari alternatif strategi adaptasi.


1. PENGERTIAN KEPADATAN


Salah satu ciri kehidupan masyarakat kota adalah kepadatan penduduk. Dalam buku Nuansa Psikologi Pembangunan, Djamaludin Ancok (1995) mengungkapkan bahwa masalah kepadatan menjadi salah satu ciri khas perkotaan. Kelebihan penduduk ini menghadirkan berbagai permasalahan, yaitu masalah kesehatan, masalah perumahan, transportasi, kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan masalah pelayanan sosial.

Kepadatan menyebabkan berkurangnya solidaritas sosial. Hasil-hasil penelitian mengenai perilaku menolong (prosocial behavior) menunjukkan bahwa semakin padat penduduk semakin meningkat rasa tak peduli kepada orang lain. Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan, kehidupan individualistis demikian semakin terasa dari hari ke hari.

Pagar rumah yang makin tinggi menyebabkan hubungan sosial antartetangga menjadi semakin berkurang. Kepedulian terhadap sesama menurun. Seakan-akan seseorang bertemu dengan orang lain bukan karena keinginan membina hubungan yang lebih intens, melainkan karena kebetulan bertemu atau karena terpaksa bertemu.

Memperkaya pernyataan di atas, Lilih Cholidah dkk (1996), dalam Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi Psikologika, mengungkapkan bahwa ada hubungan yang positif antara kepadatan dan kesesakan dengan stres pada remaja Jakarta. Secara khusus, penelitian yang dilakukan di Kelurahan Duri Utara, Kecamatan Tambora, Kodya Jakarta Barat ini mengungkapkan bahwa kepadatan dan kesesakan secara bersama-sama memberikan sumbangan terhadap terjadinya stres pada remaja sebesar 17 persen.

Hasil penelitian Lilih Cholidah dkk searah dengan pandangan Jain (1987) yang mengungkapkan bahwa stres mudah dialami individu yang mengalami keterbatasan ruang dan kesesakan setiap hari. Kepadatan dan kesesakan banyak mengakibatkan stres yang berhubungan dengan respon-respon psikis individu.

Fenomena kepadatan biasanya berkaitan dengan kesesakan. Apabila kepadatan yang dikaitkan dengan kesesakan maka ada dua macam kepadatan yaitu kepadatan spasial dan kepadatan sosial. Jika kesesakan dipelajari melalui berbagai jumlah space yang dibutuhkan sejumlah individu yang tetap disebut dengan kepadatan spasial, sedangkan kesesakan yang dipelajari melalui berbagai jumlah individu dalam space yang tetap disebut dengan kepadatan sosial. (Holaan, 1983 dan Guilford, 1987).


a. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi

Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain.

Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Guilford, 1987).

Akibat secara psikis antara lain :
a. Stres, kepadatan tinggi dapat menimbulkan perasaan negatif, rasa cemas, stres (Jain, 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi dapat menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Guilford, 1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan, 1982; Fisher dkk, 1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empa faktor :
a. Karakteristik seting fisik
b. Karakteristik seting sosial
c. Karakteristik personal
d. Kemampuan beradaptasi


2. PENGERTIAN KESESAKAN

Istilah kesesakan (crowding) merujuk pada pengertian perasaan subjektif individu terhadap keterbatasan ruang yang ada (Holaan, 1982) atau perasaan subjektif karena terlalu banyak orang lain disekelilingnya (Guilford, 1987). Dengan kata lain kesesakan muncul apabila orang berada dalam posisi terkungkung akibat persepsi subjektif keterbatasan ruang. Dikatakan oleh O’sears, dkk (1991), bahwa kesesakan selalu bersifat negative dan menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan dan biasanya terlihat dalam bentuk berbagai keluhan.

Kesesakan timbul dari perkembangan jumlah manusia di dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial dibanyak negara(mis: Indonesia, Cina, India dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun psikologis. Dalam perspektif Psikologis dari kesesakan adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destrukif.

Dalam suasana sesak dan padat, kondisi psikologis negatif mudah timbul sehingga memunculkan stres dan bernagai macam aktivitas sosial negatif( Wrightsman dan Deaux,1981). Bentuk aktivitas tersebut antara lain :
1) munculnya bermacam-macam penyakit fisik dan psikologis, stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis dan gangguan jiwa;
2) munculnya patologi sosial seperti kejahatan dan kenakalan remaja;
3) munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, prososial, dan kecenderungan berprasangka;
4) menurunya prestasi kerja.

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan
1. Faktor Personal
a. Kontrol Pribadi dan Locus Of Control; Selligman, dkk :
Kepadatan meningkat bias menghasilkan kesesakan bila individu sudah tidak punya control terhadap lingkungan sekitarnya. Control pribadi dapat mengurangi kesesakan. Locus Of Control ibternal : Kecendrungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaab yang ada di dalam dirinya lah yang berpengaruh kedalam kehidupannya.

b. Budaya, pengalaman dan proses adaptasi
Menurut Sundstrom : Pengalaman pribadi dalam kondisi padat mempengaruhi tingkat toleransi.
Menurut Yusuf : Kepadatan meningkat menyebabkan timbulnya kreatifitas sebagai intervensi atau upaya menekankan perasaan sesak.

c. Jenis kelamin dan usia
Pria lebih reaktif terhadap kondisi sesak
Perkembangan, gejala reaktif terhadap kesesakan timbul pada individu usia muda.

2. Faktor Sosial
a. Kehadiran dan perilaku orang lain
b. Formasi koalisi
c. Kualitas hubungan
d. Informasi yang tersedia

3. Faktor Fisik
- Goves dan Hughes : Kesesakan didalamnya rumah berhubungan dengan factor-faktor fisik, jenis rumah, urutan lantai, ukuran, suasan sekitar.

- Altman dan Bell, dkk : Suara gaduh,panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, karakteristik setting mempengaruhi kesesakan.


3. Adaptasi
Ketika manusia dihadapakan pada situasi padat yang dapat dipersepsikan sebagai situasi yang mengancam eksistensinya, manusia melakukan adaptasi. Hal ini berarti bahwa ada hubungan interaksionis antara lingkungan dan manusia. Lingkungan dapat mempengaruhi manusia, manusia juga dapat mempengaruhi lingkungan (Holahan, 1982). Oleh karena bersifat saling mempengaruhi maka terdapat proses adaptasi dari individu dalam menanggapi tekanan-tekanan yang berasal dari lingkungan seperti yang dinyatakan Sumarwoto (1991), bahwa individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini mempunyai nilai untuk kelangsungan hidup.

Adaptasi diartikan sebagai kapasitas individu untuk mengatasi lingkungan yang merupakan proses tingkah laku umum yang didasarkan atas faktor-faktor psikologi untuk melakukan antisipasi kemampuan melihat tuntutan di masa yang akan datang (Altman dalam Guliford, 1980). Dengan demikian, adaptasi merupakan tingkah laku yang melibatkan perencanaan agar dapat mengantisipasi suatu peristiwa di masa yang akan datang.

Adaptasi terhadap kepadatan sosial dapat dijelaskan dari pendekatan behavior constraint. Pendekatan ini menyatakan bahwa stimulasi lingkungan yang berlebih dan tidak diinginkan akan mendorong terjadinya arousal atau hambatan pada kapasitas pemrosesan informasi. Istilah constraint berarti adsa sesuatu dalam lingkungan yang membatasi (atau terinterferensi dengan sesuatu), apa yang menjadi harapan (Fisher, Bell, dan Baum, 1984).

Harold Prohansky (dalam Holahan, 1982) mencoba menguraikan pendekatan ini dengan menjelaskan fenomena kesesakan sebagai suatu fenomena psikologis yang mempunyai sifat hubungan yang tidak langsung. Situasi kesesakan merupakan perasaan bahwa kehadiran orang lain menyebabkan frustasi dalam usaha mencapai tujuan. Kesesakan terjadi ketika sejumlah orang dalan suatu setting membatasi kebebasan individu untuk memilih. Oleh karenanya, dalam pendekatan ini, yang paling penting adalah interpretasi kognitif yang mengontrol perilaku terhadap suatu peristiwa kesesakan. Menurut Fisher, Bell dan Baum (1984), ada tiga langkah dasar pendekatan ini dalam menjelaskan fenomena kesesakan yaitu perasaan kehilangan kontrol, psychological reactance, dan learned helplesness. Dalam kondisi kesesakan, yang dialami pertama kali adalah perasaan kehilangan kontrol terhadap lingkungan yang merupakan pengalaman yang tidak mengenakkan. Ketika kebebasan memilih dibatasi oelh kepadatan sosial dan spasial, orang akan mencoba memecahkan masalas situasi tersebut, muncullah langkah kedua yaitu psychological reactance. Dalam hal ini, David Stokols mengaplikasikan teori psychological reactance dari Jack Brehm pada fenomena kesesakan. Psychological reactance merupakan sautu keadaan motivasional dalam membatasi perasaan kehilangan control dan berusaha untuk mendapatkan kembali kebebasan perilaku yang terancam tersebut (Holahan, 1982). Perasaan hilangnya control dapat diatasi apabila dapat melakukan antisipasi faktor-faktor lingkungan yang membatasi kebebasan memilih. Apabila usaha ini gagal maka akan muncul langkah ketiga yaitu learned helplesness atau ketidakberdayaan yang dipelajari (Fisher, Bell, dan Baum, 1984).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adaptasi yang dapat dilakukan dengan berlandaskan pendekatan ini pada dasarnya adalah melakukan upaya untuk dapat mengontrol lingkungan dalam tingkat psychological reactance, yaitu suatu keadaan motivasional dalam mengatasi perasaan kehilangan control dan berusaha untuk mendapatkan kembali kebebasan perilaku yang terhambat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan strategi pendekatan teritorialitas dan meningkatkan keterampilan pemecahan masalah sosial.



Sumber :
Avin. (1994). Buletin Psikologi : Hidup Di Kota Semakin Sulit. http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/hidupdikota_avin.pdf. 19 Maret 2011.

elearning.gunadarma.ac.id/.../bab3_konsep-konsep_fenomena_perilaku_manusia.pdf. Akses tanggal 18 Maret 2011.

elearning.gunadarma.ac.id/.../bab4-kepadatan_dan_kesesakan.pdf. Akses tanggal 18 Maret 2011.

Nashori, Fuad. (1997). Problem Lingkungan Yang Berkaitan Dengan Kejiwaan. www. apakabar@clark.net. 19 Maret 2011.

Rabu, 23 Februari 2011

Pengaruh Lingkungan Kumuh Terhadap Perilaku

Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada permukiman kumuh yaitu perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial dan tradisi. Wujud perilaku menyimpang di permukiman kumuh ini berupa perbuatan tidak disiplin lingkungan seperti membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat. Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan umum, memutar blue film, begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas umum, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.

Masalah permukiman kumuh selalu menarik perhatian, karena dimensi kemanusiaan yang terkait padanya. Pemukiman ini sering diidentikkan dengan perkampungan orang miskin. Meskipun kita mengetahui bahwa konsepsi kemiskinan adalah relatif, tetapi paling tidak dapat dikatakan bahwa penghuni ini adalah mereka dari golongan berpenghasilan rendah.

Studi mengenai hubungan antara lingkungan buatan dan perilaku manusia, yang dalam penelitian ini memusatkan kajian pada lingkungan permukiman kumuh, telah memberikan sumbangan pemikiran berupa hasil penelitian di tiga lokasi permukiman kumuh di wilayah Jakarta Pusat, memberikan gambaran khusus mengenai hubungan lingkungan permukiman kumuh dan perilaku.

Perkelahian dan pencurian merupakan ciri kejahatan yang terjadi di lingkungan permukiman kumuh. Hasil pengamatan justru memberi gambaran bahwa perjudian juga merupakan ciri perilaku menyimpang yang terjadi di lingkungan permukiman kumuh. Meskipun beberapa jenis kejahatan dan perilaku menyimpang menggambarkan salah satu ciri perilaku anggota masyarakat di lingkungan permukiman kumuh, untuk sementara hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa lingkungan permukiman kumuh tidak berpengaruh terhadap tumbuhnya perilaku menyimpang. Dengan demikian, salah satu temuan penelitian dari Clinard dan Abbot tentang hubungan antara lingkungan permukiman kumuh dan tingginya angka kejahatan, tidak berlaku untuk kondisi lingkungan permukiman kumuh di Indonesia.

Dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan dengan metode survai dan metode wawancara mendalam (depth-interview), diperoleh beberapa temuan penelitian berikut:
1. Tingkat kepedulian anggota masyarakat permukiman kumuh yang diukur dengan indikator tingkat intensitas hubungan antar warga, menunjukkan hasil bahwa semakin baik lingkungan permukiman kumuh, semakin tinggi tingkat kepedulian warganya.

2. Kondisi lingkungan permukiman kumuh ternyata tidak selalu identik dengan perikehidupan yang kurang harmonis, bahkan tidak pula identik dengan tempat tumbuhnya perilaku menyimpang.
Salah satu pendekatan teori psikologi lingkungan adalah teori arousal atau pembangkit (arousal theory). Ketika kita emosional, kita sering merasa bergairah. Beberapa teori berpendapat bahwa semua emosi adalah hanya tingkat dimana seseorang dihasut. Meski tidak semua orang setuju dengan gagasan ini, tingkat keterbangkitan adalah dalam kemarahan, ketakutan dan kenikmatan, sedangkan tingkat keterbangkitan yang rendah adalah kesedihan dan depresi (Dwi Riyanti & Prabowo, 1997).

Mandler (dalam Hardy dan Hayes, 1985) menjelaskan bahwa emosi terjadi pada saat sesuatu yang tidak diharapkan atau pada saat kita mendapat rintangan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Madler menamakan teorinya sebagai teori interupsi. Interupsi pada masalah seperti dikemukakan tadi yang menyebabkan kebangkitan (arousal) dan menimbulkan pengalaman emosional.

Selasa, 11 Januari 2011

Penanganan Yang Tepat Bagi Korban Bencana Gempa dan Tsunami di Mentawai

Nama Kelompok :

AYUB MARTIEN NPM : 10508032
DIANNISA SHAVIRA NPM : 10508061
KANIA INDANINGRUM NPM : 10508116
RIDHO ANDIKA NPM : 10508197
RENNY WIDOWATI NPM : 10505178

KELAS : 3 PA 06



PENANGANAN BENCANA TSUNAMI DI MENTAWAI

Gempa berskala 7,2 Skala Richter (SR) yang mengguncang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada tanggal 26 Oktober 2010 ternyata mengakibatkan tsunami. Bencan tsunami di Mentawai bukanlah bencana tsunami yang pertama kali melanda Indonesia. Walaupun bencana tersebut tidak sebesar bencana tsunami di Aceh 2004 silam, tetapi tsunami Mentawai juga menelan banyak korban meninggal dunia. Banyaknya korban ini karena sebagian penduduk setempat mengira bahwa gempa yang sebelumnya mengguncang Mentawai tidak akan berpotensi tsunami. Hal ini karena peringatan yang sebelumnya sempat di umumkan oleh BMKG bahwa gempa yang terjadi berpotensi tsunami dicabut oleh BMKG, selang beberapa waktu seluruh penduduk kembali ke rumah masing-masing ketika peringatan tersebut dicabut. Ternyata tak berapa lama kemudian tsunami setinggi 30 meter menerjang seluruh daerah Mentawai. Mentawai sendiri merupakan daerah kepulauan terpencil yang berada di tengah laut, sehingga ketika tsunami itu menerjang daerah mentawai semuanya tersapu oleh ombak ganas tersebut.

Ratusan jiwa melayang, ribuan orang harus tinggal di pengungsian karena rumah mereka mengalami rusak berat akibat terjangan tsunami. Karena mentawai berada di tengah laut mengakibatkan sulitnya pemerintah, relawan dan pihak terkait untuk menyalurkan bantuan. Cuaca yang buruk juga menyebabkan sulitnya bantuan makanan, obat-obatan, pakaian dan kebutuhan lainnya untuk di salurkan kepada korban tsunami Mentawai yang tinggal di pengungsian. Beberapa hari setelah bencana relawan hanya dapat menyalurkan bantuan dengan cara melemparkan mie instant melalui udara dengan menggunakan helikopter, kemudian mie instant tersebut dilemparkan per satu kardus. Walaupun cara ini tidak terlalu efektif karena masih banyak penduduk yang tidak mendapatkan bantuan.

Menurut kami, Pemerintah dinilai lamban dalam penanganan bencana di Mentawai. Ini terlihat karena pemerintah cenderung lebih berfokus pada bencana merapi yang secara kebetulan terjadi pada satu hari yang sama seperti bencana Mentawai. Pendistribusian bantuan yang belum merata masih sangat terlihat di tempat-tempat pengungsian. Mereka bukan hanya butuh makanan, minuman, kasur, selimut, dan obat-obatan saja. Tetapi mereka juga sangat membutuhkan pakaian layak pakai, pakaian dalam untuk pria dan wanita, pembalut wanita, dan kebutuhan lainnya yang terkadang dilupakan oleh pihak-pihak yang ingin membantu. Hal-hal yang kecil seperti pembalut wanita juga tidak jauh penting. Jangan hanya berfokus pada penanganan pada hal-hal yang besar saja. Balita dan anak-anak pun masih sangat membutuhkan penghidupan yang layak selama tinggal di pengungsian, mereka butuh makanan yang sehat dan susu. Gizi mereka tidak boleh diabaikan. Begitu pun juga bagi ibu-ibu hamil.

Semua pihak yang berperan dalam penanganan bencana gempa dan tsunami Mentawai harus lebih sigap dalam menyalurkan bantuan dari para donatur agar bantuan jangan sampai menumpuk di posko dan pendistribusiannya harus tepat sasaran. Penanganan bencana Mentawai harus mengutamakan warga yang masih hidup, sembari terus melakukan upaya evakuasi terhadap korban meninggal. Langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah kabupaten Mentawai, bersama pemerintah Provinsi Sumbar adalah melakukan invetarisasi kebutuhan-kebutuhan korban gempa dan tsunami yang berada di pengungsian.

Sebagai ujung tombak dalam penanganan bencana gempa dan tsunami yang melanda Mentawai, maka pemerintah daerah yang harus bisa mengkoordinasi langkah-langkah yang mesti dilakukan. Setelah mendapat berita tsunami seharusnya pemerinta lebih tanggap dalam menangani bencana, seluruh pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk menangani bencana ini harus dengan segera melakukan tindakan yang untuk mengevakuasi para korban.

Mungkin banyak pihak yang tidak menyadari bahwa bisa saja para korban selamat mengalami trauma dan mereka butuh penanganan yang tepat untuk menghilangkan rasa trauma tersebut. Mereka butuh hiburan agar mereka bisa bangkit dan menata hidup mereka lebih baik lagi. Bukan hanya bantuan saat berada di pengungsian saja yang dibutuhkan, mereka akan jauh lebih membutuhkan bantuan untuk kehidupan mereka setelah keluar dari pengungsian. Mereka sudah kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal. Rumah mereka sudah tidak mungkin ditempati lagi karena mengalami rusak berat, maka dari itu mereka pasti lebih membutuhkan tempat tinggal yang aman untuk mereka tempati setelah keluar dari tempat pengungsian. Pemerintah harus bisa mengalokasikan para korban ke tempat yang lebih aman.

JURNAL-JURNAL MENGENAI KELOMPOK

ANGGOTA KELOMPOK :

AYUB MARTIEN NPM : 10508032
DIANNISA SHAVIRA NPM : 10508061
KANIA INDANINGRUM NPM : 10508116
RIDHO ANDIKA NPM : 10508197
RENNY WIDOWATI NPM : 10505178

KELAS : 3 PA 06


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala karuniaNya kepada kami,karena atas limpahan kasih dan sayangnya makalah Psikologi Kelompok ini dapat diselesaikan.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi syarat penilaian tugas Psikologi Kelompok. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Inge Andriani, yang telah memberikan tugas ini sehingga mendapatkan banyak pengetahuan melalui tugas ini dan kami dapat menjalin kerjasama yang baik dalam menyelesaikan makalah ini.Terima kasih juga kepada semua anggota kelompok untuk waktu, pikiran dan kerjasamanya.

Kami menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh kemampuan kami yang terbatas dan masih dalam tahap belajar . Oleh karena itu,kami mohon maaf atas kekurangan tersebut. Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan dari semua pihak.

Akhir kata kebaikanlah yang kami harapkan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.


Bekasi, Oktober 2010



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR….............................................................................. i
DAFTAR ISI............................ ............ii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................1
A. Definisi Kelompok.......................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN..............................................................................1
A. Jurnal 1.........................................................................................1
B. Jurnal 2.........................................................................................4
BAB 4 PENUTUP.......................................................................................6
A. Kesimpulan.................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................7







PENDAHULUAN

A. Definisi Kelompok

Ada beberapa ahli yang mendefinisikan tentang kelompok, diantaranya :
a. Hornby, A.S (1973: 441) berpendapat bahwa kelompok adalah sejumlah orang atau benda yang berkumpul atau ditempatkan secara bersama-sama atau secara alamiah berkumpul. (A number of persons or things gathered, or naturally associated).
b. Webster (1989: 425) ,mengatakan bahwa kelompok adalah sejumlah orang atau benda yang bergabung secara erat dan menganggap dirinya sebagai suatu kesatuan.
c. (Sherif: 1962), berpendapat Kelompok adalah unit sosial yang terdiri dari sejumlah individu yang mempunyai hubungan saling ketergantungan satu sama lain sesuai dengan status dan perannya secara tertulis atau tidak mereka telah mengadakan norma yang mengatur tingkah laku anggota kelompoknya.
d. slamet Santosa (1992: 8), “Kelompok adalah suatu unit yang terdapat beberapa individu yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan kesatuannya dengan cara dan atas dasar kesatuan persepsi”.
e. Menurut Zaltman (1972: 75), bahwa Dinamika Kelompok adalah kekuatan-kekuatan yang berlangsung dalam kelompok, kekuatan tersebut bertujuan memberikan arah perilaku kelompok.


ISI PEMBAHASAN

A. JURNAL 1
Persija adalah sebuah klub sepak bola yang terletak di Jakarta. Persija berdiri pada tanggal 28 November 1928 dan memiliki julukan Macan Kemayoran. Keberadaan Persija dalam kancah Liga Indonesia dan bermain dalam Divisi Utama Liga Indonesia memberikan warna tersendiri, bukan hanya oleh permainannya yang menawan tetapi juga pada suporter pendukung yang menamai dirinya The Jakmania.

The Jakmania adalah kelompok suporter pendukung tim sepak bola Persija yang terbentuk karena suatu alasan, yaitu samasama mendukung tim sepak bola Persija dan berupaya untuk mengorganisir para suporter Persija. The Jakmania berdiri sejak Liga Indonesia IV, tepatnya 19 Desember 1997. Pada awalnya The Jakmania hanya terdiri dari 100 orang, dengan pengurus sebanyak 40 orang. Ketika dibentuk, dipilihlah figur yang dikenal di mata masyarakat. Gugun Gondrong merupakan sosok yang paling dikenal saat itu dan memimpin The Jakmania pada periode 1999-2000. Seiring dengan berjalannya waktu masa kepemimpinan Gugun Gondrong digantikan oleh Fery Indrasjarief yang memimpin selama 3 periode. Pada masa kepemimpinan Fery, The Jakmania berhasil mendapatkan anggota sebanyak 30.000 dari 50 Koordinator Wilayah.

Selain kegiatan mendukung Persija dalam pertandingan, anggota The Jakmania juga memiliki kegiatan kumpul bersama yang dilakukan setiap hari Selasa dan Jum’at, dimana dalam kegiatan tersebut baik pengurus ataupun anggota membahas perkembangan The Jakmania serta melaporkan laporan dari setiap bidang kepengurusan, tidak lupa kegiatan ini juga melakukan pendaftaran bagi anggota baru dalam rutinitas tersebut.

Dalam kelompok The Jakmania terdapat kelompok-kelompok seperti Jak On Air yaitu kelompok yang bekerja sama dengan Radio Utan Kayu yang setiap seminggu sekali mendatangkan pemain-pemain Persija, Jak Angel yaitu kelompok perempuan yang mendukung tim Persija, Jak Online yaitu kelompok yang mempunyai kegiatan untuk memberikan fasilitas informasi tentang Persija melalui jalur internet, Jak Scooter yaitu kelompok pengguna kendaraan vespa yang mendukung Persija, dan Jak Adventure adalah kelompok suporter yang mendukung persija saat bertanding di kandang lawan.

Kelompok-kelompok yang ada dalam The Jakmania tidak hanya terbatas dari yang tertulis di atas, banyak kelompok-kelompok kecil yang tidak tercatat berdasarkan pembagian kelompok tersebut. Kelompok-kelompok kecil ini memiliki aktifitas seperti berangkat bersamasama dari suatu tempat menuju stadion tempat lokasi pertandingan Persija dan pulang bersama-sama menuju tempat asal. Kelompok The Jak Kukusan merupakan salah satu kelompok kecil yang tidak tercatat berdasarkan pembagian kelompok diatas.

Hal-hal tersebut diataslah yang melatarbelakangi peneliti mengangkat tema kohesifitas dalam kelompok untuk dijadikan sebagai bahan penelitian, dikarenakan adanya pandangan masyarakat yang bertentangan mengenai suporter sepak bola. Masyarakat memandang kegiatan suporter sepak bola dapat memicu timbulnya agresifitas yang merugikan banyak pihak tanpa melihat adanya kohesifitas yang dapat membangun serta bersifat positif.

Mengacu pada antusiasme supporter sepak bola The Jakmania, peneliti tertarik pada kohesivitas yang terlihat serta ingin mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kohesivitas pada The Jakmania. Kekompakan yang ditunjukkan dari sebelum pertandingan hingga akhir inilah yang menarik minat peneliti untuk mengkaji kelompok suporter ini.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang ditekankan pada penelitian studi kasus. Peneliti mengambil langkah ini karena melihat adanya sifat khusus dari kelompok yang akan diteliti, hal ini diperkuat dengan teori dari Yin (1994) menyimpulkan studi kasus sebagai suatu bentuk penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang memiliki sifat kekhususan (particulary), dapat dilakukan baik dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan (individual) maupun kelompok, bahkan masyarakat luas.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tampak adanya kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania, hal tersebut dapat dilihat dari:
1. Kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania. Menurut Suryabrata (2007) ciri-ciri kohesivitas kelompok dapat dilihat dari: setiap anggota kelompok mengenakan identitas yang sama, setiap anggota kelompok memiliki tujuan dan sasaran yang sama, setiap anggota kelompok merasakan keberhasilan dan kegagalan yang sama, setiap anggota kelompok saling berkerja sama dan berkolaborasi, setiap anggota kelompok memiliki peran ke anggotaan, kelompok mengambil keputusan secara efektif. Berdasarkan penelitian kohesivitas dalam kelompok tersebut seperti, aktifitas kelompok dalam komunitas (main bola bareng adalah salah satu kegiatan TheJak kukusan, berkumpul setiap hari), aktifitas kelompok kecil (pulang pergi bersama saat menonton pertandingan Persija secara langsung, patungan), proses pengambilan keputusan (berdiskusi untuk menentukan keputusan yang terbaik, setiap anggota mempunyai solusi), identitas kelompok (menggunakan atribut
Persija, baju, logo, shal), kohesivitas kelompok di luar lapangan (berkumpul diwarung ujung gang, dalam perjalanan kelompok menyanyikan yel-yel bersama), kohesivitas kelompok dilapangan (kelompok bergabung dengan The Jak yang lain, kelompok bernyanyi bersamasama, merayakan gol bersama, merayakan kemenangan bersama).

2. Faktor-faktor yang menyebabkan kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania.Menurut McDougall (dalam Sarwono, 2005) kohesivitas dalam kelompok dapat dipengaruhi oleh: kelangsungan keberadaan kelompok (berlanjut dalam waktu yang lama) dalam arti keanggotaan dan peran setiap anggota, adanya tradisi kebiasaan dan adat, ada organisasi dalam kelompok, kesadaran diri kelompok (setiap anggota tahu siapa saja yang termasuk dalam kelompok, bagaimana caranya ia berfungsi dalam kelompok,bagaimana struktur dalam kelompok, dan sebagainya), pengetahuan tentang kelompok, keterikatan (attachment) kepada kelompok.

Selain dapat melihat kohesivitas dalam kelompok tersebut, peneliti juga dapat melihat faktor-faktor yang menyebabkan kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania. Pertama, latar belakang kelompok yaitu teman nongkrong (jarak rumah yang berdekatan menyebabkan anggota mudah bertemu), jumlah anggota (dengan anggota yang berjumlah 10 orang menyebabkan setiap individu dapat mengenal lebih dalam dengan anggota kelompok), tujuan yang sama (setiap anggota dalam kelompok memiliki keinginan yang sama yaitu ingin tim yang didukungnya menang).
Kedua, aktivitas dan kegiatan kelompok seperti main bola bareng (setiap anggota kelompok memiliki kegiatan sehari-hari bersama kelompok seperti main bola bareng dan aktivitas tersebut dapat meningkatkan kekompakkan), nonton bola bareng (kelompok memiliki kegiatan lain seperti nonton Liga Champion bersama anggota kelompok dan aktifitas tersebut dapat meningkatkan kekompakan, karena setiap anggota dapat saling bertemu). Ketiga kebersamaan kelompok seperti proses menumbuhkan keterikatan (pada saat berkumpul, anggota kelompok bercanda gurau dan tertawa bersama sehingga aktifitas ini dapat meningkatkan keterikatan antara anggota kelompok), saling membantu dan menolong (setiap anggota The Jak saling membantu jika ada yang kesusahan dan setiap anggota The Jak harus saling menolong, perilaku tersebut dapat meningkatkan kekompakkan dan kebersamaan setiap anggota).
Kegiatan-kegiatan seperti inilah yang menyebabkan adanya keterkaitan antara dua hal yaitu kohesivitas dalam kelompok tersebut dan faktor-faktor yang menyebabkan kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania yang saling berkesinambungan.


B. JURNAL 2

Dalam konteks Aceh, masyarakat sivil (civil society) merupakan antara pelaku yang mempunyai peluang dan harus dilibatkan untuk membangunkan perdamaian berterusan ini. Selain memang berada dalam situasi konflik, masyarakat sivil lebih menyokong kaedah penyelesaian tanpa kekerasan, dan yang menjaga asas kebebasan individu dan hak asasi manusia. Alexis Tocqueville mengertikan masyarakat sivil sebagai pertubuhan-pertubuhan yang mempunyai matlamat yang berbeda-beda, eksklusif dan terpisah-pisah dan memiliki asas yang dikongsi bersama untuk bertindak secara bersama, iaitu kebebasan individu dan hak asasi manusia.

Penglibatan masyarakat sivil juga penting untuk mengingatkan bahawa apapun penyelesaian yang dijalankan untuk Aceh haruslah melalui proses dan menuju pembangunan struktur demokrasi. Hal ini adalah antara perkara untuk memastikan penyelesaian yang dibina mampu menjamin perdamaian berterusan. Dalam hal ini masyarakat sivil memang pelaku yang sangat sesuai kerana masyarakat sivil dijalankan atas prinsip-prinsip saling menghargai dan terbuka, dan menganut nilai-nilai sejagat. Kebiasaan yang dijalankan masyarakat sivil dalam mengambil keputusan atau mencapai matlamat politik yang dilakukan secara bersama merupakan perkara-perkara yang sangat penting dalam melahirkan nilai-nilai demokrasi.

Uraian-uraian ini membuat penyelidikan akan kesan dan peranan masyarakat sivil ini dalam membangun perdamaian dan transformasi konflik di Aceh merupakan suatu perkara yang menarik dan mustahak untuk dilakukan. Penyelidikan juga penting dilakukan untuk melihat peranan masyarakat sivil dalam membangun perdamaian setelah perubahan konteks konflik selepas bencana tsunami di Aceh.

Berdasarkan kepada penyataan masalah yang telah dikemukakan di atas, penyelidik tertarik untuk menganalisis secara komprehensif usaha-usaha yang telah dilakukan masyarakat sivil Aceh, terutamnya sebelum tsunami, dalam membangunkan perdamaian dan keberkesanannya dalam transformasi konflik di Aceh.

Untuk mencapai objektif kajian, penyelidik menggunakan pendekatan penyelidikan berbentuk kajian kes dengan konflik Aceh sebagai kes kajian. Kaedah yang digunakan di dalam penyelidikan ini pula di bahagikan kepada dua iaitu kajian perpustakaan dan kajian lapangan. Umumnya penyelidikan ini adalah bersifat teoritikal dan empirikal. Untuk itu kedua-dua data primer dan sekunder digunakan dalam tesis ini.

Data yang akan dikumpulkan di dalam kajian ini adalah berbentuk kualitatif. Diantara maklumat yang akan dikumpulkan adalah keadaan konflik Aceh, termasuk sejarah, punca, perkembangan, pelaku, isu, kesan yang ditimbulkan dan kaedah pengurusan konflik yang dijalankan. Maklumat lainnya adalah mengenai struktur masyarakat sivil Aceh, termasuk pelaku-pelaku utama, jaringan yang dipunyai dan perkembangan-perkembangan yang telah berlaku. Di samping itu maklumat yang akan dikumpulkan adalah berkenaan dengan usaha dan aktiviti masyarakat sivil Aceh dalam membangun perdamaian, bagaimana itu dijalankan dan apa cabaran yang mereka hadapi serta apa pengaruh cabaran dan aktiviti itu terhadap struktur dan kapasitas mereka.

Kalau kita kaji secara mendalam memang didapati bahawa konflik Aceh susah untuk diselesaikan, sehingga memerlukan ketelitian dalam merumuskan kaedah penyelesaian yang berkesan. Secara ringkas penyelidik ingin menghuraikan beberapa perkara yang membuat konflik Aceh susah untuk diselesaikan sebelum datangnya musibah tsunami,yaitu:
Pertama: punca konflik kerana kegagalan struktur negara dalam memuaskan struktur dan tradisi hidup sebuah komuniti, hal ini seperti yang dihuraikan dalam pendahuluan di atas.

Kedua: terjejasnya hubungan yang sangat lama dan terus menerus yang telah mewujudkan ketidakpercayaan dan stereotype antara satu pihak dengan pihak lain. Perasaan ini terutamanya ada pada pihak rakyat Aceh kerana banyaknya janji dan harapan yang disampaikan pemimpin-pemimpin Indonesia yang tidak ditepati.

Ketiga: isu-isu utama yang berkembang dalam konflik adalah isu nilai (identiti, martabat, nasionalisme) yang tidak boleh dibahagikan. Selain itu banyaknya isu yang berkembang juga membuat konflik ini menjadi susah diselesaikan. Banyaknya isu ini selain konflik yang berlangsung lama juga merupakan kesan daripada kesalahan dalam menjalankan kaedah penamatan konflik. Contoh yang paling ketara ialah penggunaan kaedah ketenteraan baik pada masa DI/TII atau GAM yang mewujudkan isu pencabulan hak asasi manusia. Demikian juga kaedah memperbesar pembahagian hasil kekayaan kepada Aceh yang tidak disokong sistem pentadbiran yang bersih (clean governance) sehingga mewujudkan isu rasuah, dan sebagainya.

Keempat: struktur kekuasaan antara pihak yang berkonflik tidak seimbang (asymmetric). Pihak yang berkonflik secara fizikal ialah kerajaan Indonesia yang memiliki struktur negara yang lengkap dan GAM yang merupakan kumpulan gerila yang hanya memiliki beberapa ribu ahli saja.

Kelima: keterlibatan banyak pelaku dalam konflik dengan pelbagai ragam matlamat. Bukan hanya antara pihak-pihak utama yang berkonflik, namun perbedaan matlamat juga berlaku di dalaman pihak-pihak utama tersebut. Ini ditambah lagi dengan sikap para pelaku yang kukuh dengan matlamatnya masing-masing. Keadaan ini membuat usaha-usaha ke arah perdamaian yang digagas satu atau beberapa pelaku boleh gagal kerana ada usaha sabotase oleh pihak lain.


KESIMPULAN

A. JURNAL 1

Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah :
1. Kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania, hal ini dilihat dari: Aktifitas kelompok dalam komunitas(main bola bareng, satu lingkungan, bakti sosial dan nonton bola bareng), aktifitas kelompok kecil (pulang pergi bersama, patungan, pulang dan pergi bersama), proses pengambilan keputusan kelompok (berdiskusi, solusi, pengambilan keputusan), identitas kelompok (warna, tulisan, logo-logo, warna, logo, atribut Persija), kohesivitas kelompok di luar lapangan (proses menumbuhkan keterikatan, aktifitas sebelum pertandingan, aktifitas setelah pertandingan, tempat berkumpul, mencari kendaraan, menaiki kendaraan, menyanyikan yel-yel, membeli air dan rokok, tegur sapa, menuju tempat parkir, perjalanan pulang, membahas pertandingan), kohesivitas kelompok di lapangan (bentuk dukungan, aktifitas ketika pertandingan, mencari Jak lain, bergabung dengan Jak lain, bernyanyi bersama, merayakan gol, merayakan kemenangan).

2. Faktor-faktor yang menyebabkan kohesivitas individu dalam kelompok kecil The Jakmania adalah sebagai berikut: Latar belakang kelompok (jumlah anggota, teman nongkrong, tujuan yang sama), aktifitas dan kegiatan kelompok (main bola bareng, satu lingkungan, main bola, bakti sosial, nonton bola), kebersamaan kelompok (proses menumbuhkan keterikatan, saling membantu, saling menolong).

B. JURNAL 2
Penyelidikan ini menjelaskan bahwa aktivitas-aktivitas yang dijalankan masyarakat sivil seperti advokasi, kempen, penyedaran akan nilai-nilai perdamaian, perlindungan terhadap mangsa konflik dan aktivitas kemanusiaan lainnya telah mengubah penyelesaian dalam konflik di Aceh sehingga lebih mudah diselesaikan. Berlakunya perubahan tersebut bukan hanya disebabkan peranan masyarakat sivil, tetapi juga peranan pihak-pihak lain, seperti masyarakat antarabangsa dan partai yang berkonflik sendiri. Peranan masyarakat sivil yang lebih besar berdasarkan penyelidikan ini adalah mengubah struktur konflik yang sebelumnya tidak seimbang (asymmetric) menjadi lebih seimbang. Konflik yang sebelumnya tersembunyi (latent) menjadi terbuka (manifest) sehingga lebih mudah diselesaikan. Peranan masyarakat sivil juga besar dalam perubahan isu konflik yang sebelumnya hanya berkenaan dengan pemisahan, kekerasan dan ketenteraan menjadi bercampur dengan isu-isu perdamaian, pendemokrasian dan kemanusiaan. Perubahan-perubahan ini menjadi penyelesaian konflik dan pembangunan perdamaian secara lebih luas.



DAFTAR PUSTAKA

Wicaksono, B. 2010. Kohesifitas Suporter Tim Sepak Bola PERSIJA. www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/.../Artikel_10504030.pdf. 23 Oktober 2010.

Lukman. 2007. Peranan Masyarakat Sivil Dalam Transformasi Konflik Di Aceh. http://eprints.usm.my/9332/1/PERANAN_MASYARAKAT_SIVIL_DALAM_TRANSFORMASI_KONFLIK.pdf. 22 Oktober 2010.

KELOMPOK (TIM) FUTSAL TALENTA

Kelompok adalah sekumpulan individu yang terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki tujuan, minat, kemampuan dan keinginan yang sama.
Slamet Santosa (1992: 8), “Kelompok adalah suatu unit yang terdapat beberapa individu yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan kesatuannya dengan cara dan atas dasar kesatuan persepsi”.

Dinamika Kelompok adalah suatu Istilah yang digunakan untuk menghubungkan kekuatan-kekuatan aspek pekerjaan kelompok. Pada dasarnya, Dinamika Kelompok mengacu pada kekuatan Interaksional dalam kelompok yang ditata dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan para anggota (Suardi: 1998).

Kali ini saya akan membahas mengenai suatu kelompok yang memiliki minat yang sama yaitu dalam hal olahraga sepak bola atau futsal di lingkungan Perumahan Margahayu. Club futsal ini bernama TALENTA, yang dibentuk oleh Bapak Sarbini atau lebih sering disapa dengan sebutan Babeh. TALENTA dibentuk pada tahun 1997, dengan tujuan untuk memfasilitasi remaja putra di lingkungan Margahayu agar mempunyai wadah yang tepat untuk menyalurkan hobi dan bakat mereka dalam berolahraga terutama dalam olahraga sepak bola atau futsal. Pada awalnya club ini hanya beranggotakan remaja putra di lingkungan setempat saja, sejalan dengan majunya club tersebut banyak orang yang mendaftarkan diri untuk bergabung. Dan sekarang club TALENTA memiliki anggota dari luar Perumahan Margahayu, seperti Pondok Hijau dan Jatimulya.
Club TALENTA pada dasarnya adalah club sepak bola lapangan besar, karena pengurus club melihat banyak bakat yang dimiliki para remaja tersebut. Dan seiring berjalannya waktu club ini semakin besar, dan dibentuklah juga pengurus lainnya seperti pembina, manager tim, pelatih, humas, seksi peralatan. Tapi sekarang kepengurusan tim sedikit terabaikan.

Kegiatan Club TALENTA antara lain adalah latihan futsal dan sepak bola, sparing, mengikuti kejuaraan. Mereka mempunyai jadwal khusus latihan dengan pelatih sendiri. Dulu mereka latihan 2-3 kali dalam seminggu. Selain untuk kegiatan atau kepentingan futsal dan sepak bola, mereka juga sering kumpul-kumpul di tempat manager dan terkadang mereka jalan-jalan bersama.
Club TALENTA bukan hanya mengikuti pertandingan di sekitar Bekasi saja, tetapi juga pernah mengikuti pertandingan di luar kota seperti Cianjur dan Subang.

Club TALENTA sudah mengikuti banyak kompetisi sepak bola, seperti turnamen di Jatimulya, Juanda, Narogong, Rawa Lumbu, Unisma dan masih banyak lagi. Dari bebagai kejuaraan yang pernah diikuti, TALENTA mendapatkan beberapa juara, antara lain :
• Juara 1 sekitar 7 kali
• Juara 2 sekitar 2 kali
• Juara 3 sekitar 2 kali
Nama club TALENTA sudah banyak dikenal oleh club-club sepakbola lainnya karena kehebatan permainan mereka, dan sudah rahasia umum kalau anggota club TALENTA terdiri dari orang-orang yang jago dalam bermain sepak bola. Tidak heran jika setiap pertandingan, club TALENTA selalu dijagokan.

Karena saat semua anggotanya sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing diluar TALENTA seperti bekerja dan kuliah, maka club TALENTA sejak setahun lalu lebih sering mengikuti pertandingan futsal daripada pertandingan sepak bola lapangan besar. Alasan lainnya karena futsal saat mulai berkembang. Keaktifan anggota club sudah tidak terlalu aktif seperti beberapa tahun lalu, dengan alasan yang telah disebutkan di atas. Mereka hanya melakukan latihan jika akan mengikuti kejuaraan atau sparing saja. Namun, dengan jam terbang yang sudah cukup banyak mereka sudah terbiasa dengan keadaan bertanding secara mendadak dan mereka sudah sangat paham dengan strategi yang biasa digunakan dalam bertanding di setiap kejuaraan.

Karakteristik atau ciri suatu Kelompok menurut Shaw (1979: 6-10) ada 6, yaitu:
1) Persepsi dan kognisi anggota kelompok
2) Motivasi dan kebutuhan kepuasan (need satisfaction)
3) Tujuan kelompok (Group Goals)
4) Organisasi Kelompok
5) Ada ketergantungan antara anggota kelompok
6) Interaksi

Selain itu karakteristik kelompok adalah 1). Adanya interaksi, 2) adanya struktur, 3). Kebersamaan, 4). Adanya tujuan, 5) ada suasana kelompok, 6) dan adanya dinamika interdependensi.

Oleh sebab itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa kelompok adalah unit komunitas yang terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki suatu kesatuan tujuan dan pemikiran serta integritas antar anggota yang kuat.

Selasa, 30 November 2010

PENANGANAN BENCANA GEMPA DAN TSUNAMI DI MENTAWAI

Nama Kelompok :
• Ayub Martien
• Diannisa Shavira
• Kania Indaningrum
• Ridho Andika
• Renny

Kelas : 3 PA 06

PENANGANAN BENCANA GEMPA DAN TSUNAMI DI MENTAWAI


Gempa berskala 7,2 Skala Richter (SR) yang mengguncang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat pada tanggal 26 Oktober 2010 ternyata mengakibatkan tsunami. Bencan tsunami di Mentawai bukanlah bencana tsunami yang pertama kali melanda Indonesia. Walaupun bencana tersebut tidak sebesar bencana tsunami di Aceh 2004 silam, tetapi tsunami Mentawai juga menelan banyak korban meninggal dunia. Banyaknya korban ini karena sebagian penduduk setempat mengira bahwa gempa yang sebelumnya mengguncang Mentawai tidak akan berpotensi tsunami. Hal ini karena peringatan yang sebelumnya sempat di umumkan oleh BMKG bahwa gempa yang terjadi berpotensi tsunami dicabut oleh BMKG, selang beberapa waktu seluruh penduduk kembali ke rumah masing-masing ketika peringatan tersebut dicabut. Ternyata tak berapa lama kemudian tsunami setinggi 30 meter menerjang seluruh daerah Mentawai. Mentawai sendiri merupakan daerah kepulauan terpencil yang berada di tengah laut, sehingga ketika tsunami itu menerjang daerah mentawai semuanya tersapu oleh ombak ganas tersebut.

Ratusan jiwa melayang, ribuan orang harus tinggal di pengungsian karena rumah mereka mengalami rusak berat akibat terjangan tsunami. Karena mentawai berada di tengah laut mengakibatkan sulitnya pemerintah, relawan dan pihak terkait untuk menyalurkan bantuan. Cuaca yang buruk juga menyebabkan sulitnya bantuan makanan, obat-obatan, pakaian dan kebutuhan lainnya untuk di salurkan kepada korban tsunami Mentawai yang tinggal di pengungsian. Beberapa hari setelah bencana relawan hanya dapat menyalurkan bantuan dengan cara melemparkan mie instant melalui udara dengan menggunakan helikopter, kemudian mie instant tersebut dilemparkan per satu kardus. Walaupun cara ini tidak terlalu efektif karena masih banyak penduduk yang tidak mendapatkan bantuan.

Pemerintah dinilai lamban dalam penanganan bencana di Mentawai. Ini terlihat karena pemerintah cenderung lebih berfokus pada bencana merapi yang secara kebetulan terjadi pada satu hari yang sama seperti bencana Mentawai. Pendistribusian bantuan yang belum merata masih sangat terlihat di tempat-tempat pengungsian. Mereka bukan hanya butuh makanan, minuman, kasur, selimut, dan obat-obatan saja. Tetapi mereka juga sangat membutuhkan pakaian layak pakai, pakaian dalam untuk pria dan wanita, pembalut wanita, dan kebutuhan lainnya yang terkadang dilupakan oleh pihak-pihak yang ingin membantu. Hal-hal yang kecil seperti pembalut wanita juga tidak jauh penting. Jangan hanya berfokus pada penanganan pada hal-hal yang besar saja. Balita dan anak-anak pun masih sangat membutuhkan penghidupan yang layak selama tinggal di pengungsian, mereka butuh makanan yang sehat dan susu. Gizi mereka tidak boleh diabaikan. Begitu pun juga bagi ibu-ibu hamil.

Semua pihak yang berperan dalam penanganan bencana gempa dan tsunami Mentawai harus lebih sigap dalam menyalurkan bantuan dari para donatur agar bantuan jangan sampai menumpuk di posko dan pendistribusiannya harus tepat sasaran. Penanganan bencana Mentawai harus mengutamakan warga yang masih hidup, sembari terus melakukan upaya evakuasi terhadap korban meninggal. Langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah kabupaten Mentawai, bersama pemerintah Provinsi Sumbar adalah melakukan invetarisasi kebutuhan-kebutuhan korban gempa dan tsunami yang berada di pengungsian.

Sebagai ujung tombak dalam penanganan bencana gempa dan tsunami yang melanda Mentawai, maka pemerintah daerah yang harus bisa mengkoordinasi langkah-langkah yang mesti dilakukan. Setelah mendapat berita tsunami seharusnya pemerinta lebih tanggap dalam menangani bencana, seluruh pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk menangani bencana ini harus dengan segera melakukan tindakan yang untuk mengevakuasi para korban.

Mungkin banyak pihak yang tidak menyadari bahwa bisa saja para korban selamat mengalami trauma dan mereka butuh penanganan yang tepat untuk menghilangkan rasa trauma tersebut. Mereka butuh hiburan agar mereka bisa bangkit dan menata hidup mereka lebih baik lagi. Bukan hanya bantuan saat berada di pengungsian saja yang dibutuhkan, mereka akan jauh lebih membutuhkan bantuan untuk kehidupan mereka setelah keluar dari pengungsian. Mereka sudah kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal. Rumah mereka sudah tidak mungkin ditempati lagi karena mengalami rusak berat, maka dari itu mereka pasti lebih membutuhkan tempat tinggal yang aman untuk mereka tempati setelah keluar dari tempat pengungsian. Pemerintah harus bisa mengalokasikan para korban ke tempat yang lebih aman dan menjamin penghidupan yang lebih baik bagi para korban untuk bisa melanjutkan kehidupan mereka ke depannya. Terutama menghilangkan perasaan trauma yang mungkin di alami oleh para korban.